Hidup
Di Atas Keyakinan
Tetesan air hujan menyambut
pagiku hari ini,dan membasahi tiap lembar dedaunan di halaman rumah. Lembaran
roti tawar bertumpukan setinggi 8cm tersusun rapi di atas meja,di sebelahnya
berdiri tegap selai nanas bermerekan Morin dan berdampingan dengan pisau oles.
Ini semua ibuku yang menyiapkan setiap paginya untukku Ayah dan adikku Mourin.
Mourin telah duduk di kursi sebelah ayah, Mourin ya Mourin Ardelia nama
lengkapnya. Dia gadis kecil yang lucu, dia berambut panjang,kriting dan pirang
dengan matanya yang indah dan bulu matanya yang lentik asli keturunan Belanda
wajahnya sangat mirip ibukku Moura Ardelia namanya. Dia sangat menyayangi kami
walaupun dalam satu keluarga, keyakinan kami berbeda. Ayah,ibu dan Mourin
beragama Kristen sedangkan aku beragama Islam. Ini terjadi ketika aku berusia 6
tahun. Pada awalnya aku beragama Kristen. Tapi saat itu aku suka bergaul dengan
teman-temanku dulu yang beragama islam. Aku sering di ajak mengaji,sholat dan
ibadah lainya yang pada umumnya di lakukan oleh orang islam. Kala itu aku menyadari bahwa begitu lembut
ajaran islam,ibu uztazdah yang mengajariku tidak pernah
memarahiku,membeda-bedakan aku dengan teman-temanku yang islam,dia tidak
melarangku untuk ikut mengaji dan sholat bersama teman teman. Bahkan ilmu agama
yang aku ketahui sekarang ini,sebagian bersumber dari ibu uztazdah cantik itu
yang bernama Aisyah,dia lembut tutur katanya,aku banyak bertanya Tanya tentang
islam kepadanya. Dan sekitar umur 9tahun aku mulai berfikir masalah keyakinan.
Hingga aku bertekad untuk bicara pada ibu.
“ibu,Maudy
boleh Tanya?” kataku dengan nada kekanak kanakanya pada saat itu.
“boleh
sayang,mau Tanya apa?”jawaban ibu semakin membuatku semangat untuk melanjutkan
percakapanku kala itu.
“kalau
Maudy masuk islam boleh?”pertanyaan itu aku lontarkan dengan begitu mudah.
Ibu
tersenyum.. tapi selepas itu ia terdiam dan melanjutkan kegiatanya memotong
sayuran. Dia sepertinya enggan merespon pertanyaanku.
“ibu
marah ya?aduh maafkan Maudy bu,Maudy nggak bermaksud apa apa?Maudy ha…”belum
selesai berbicara jari telunjuk ibu di tempelkan ke bibirku,dengan arti aku
harus diam dan mendengarkan apa yang akan ibu katakan.
“anak
ibu yang paling cantik,ibu tidak pernah marah kepada gadis mungil ibu yang satu
ini,, dengarkan ibu ya sayang”kemudian ibu menuntunku untuk duduk di kursi
dekat dengan tempat berdiri aku dan ibu dari tadi.
Aku
duduk dan kemudian memandang ibu,di matanya terlihat kasih sayang yang begitu
dalam untuk puterinya.
“ibu
dan ayahmu,tidak pernah menuntut anaknya mengikuti kepercayaan yang kami
anut,jadi ibu dan ayah membebaskanmu untuk menganut keyakinan apapun itu. Bukan
karena ayah dan ibu tidak menyayangimu”
“Lantas?”ucapku
di tengah tengah pembicaraanya.
“semua
itu atas dasar rasa sayang ayah dan ibu kepada puterinya,ayah dan ibu ingin
melihat puterinya hidup bahagia tanpa tekanan batin tutuntan dari ayah dan
ibu,paham?”
Aku
mengangguk tanda mengerti.
Ibu
menarik nafas dalam dalam dan kemudian melanjutkan pembicaraanya.
“jadi
ayah dan ibu mengizinkan kamu masuk agama islam,dengan catatan kamu harus
bersungguh sungguh dalam menjalankan perintah yang telah di berikan oleh tuhan
mereka,jangan sekalipun kamu melanggarnya,kamu paham?”
Mataku
berkaca kaca,aku merasa menjadi orang yang beruntung di dunia karena memiliki
orang tua yang sangat menyayangiku.
“iya
bu,Maudy paham jadi ibu benar benar memperbolehkan Maudy masuk islam?”jawabku
memastikan.
“tentu
boleh”
Kemudian
aku meraih tubuh langsing ibu dan aku merasakan pelukan hangat dari ibu yang
begitu besar rasa cintanya kepada puterinya. Perlahan air mataku mengalir
bahkan sampai membasahi baju ibu. Ibu mengusap kepalaku dan menciumnya dengan
penuh kehangatan.
Dan
sore harinya ba’da sholat maghrib dengan di tuntun uztazdah Aisyah aku
membacakan dua kalimat syahadat dengan sepenuh hati dan percaya bahwa Allahlah
tuhanku dan Muhammadlah nabiku.
Itulah
sejarah mengapa dalam keluargaku ada perbedaan keyakinan.
“Sayang
Maudy,nanti ibu sama ayah mau ke rumah oma,jadi kamu jaga rumah ,kuncinya ibu
titipin ke mba inah,,oke”tutur kata ibu seraya tersenyum.
“baiklah,,oya
Maudy nanti mau ikut ngaji sama uztad baru di masjid”jawabku
“baiklah
sayang semangat untuk melaksanakan ibadahmu”
Aku
tersenyum dengan kebijakan ibu terhadap masalah ini.
“oh
iya sayang ,salam buat pak sulaiman dari ayah ya,suruh sekali kali mampir ke
rumah”kata bapak menitipkan salam untuk pak sulaiman penjaga perpustakaan di
sekolahku.
“oke
Ayah”jawabku tersenyum
“suruh
dia juga kalau mau main kesini bawa anak laki lakinya si Taufik,biar bisa
kenalan sama kamu”kata ayah nyengir
“ih
apa sih ayah?”kataku malu malu
“hayo
yang keliatan salah tingkah” serentak semua tertawa,begitulah sifat ayah yang
slalu membuat keluarganya tertawa.
Pagi
itu sarapan berlangsung begitu menyenangkan,ada candaan ayah,ada kelucuan adiku
Mourin. Begitulah kehangatan yang terjadi pagi ini. Kadang aku merasa kasian
kepada mereka,kenapa mereka tetap meyakini kepercayaan yang begitu menyesatkan
menurutku. Tapi inilah takdir Allah. Aku hanya bisa bersyukur karena telah di
anugerahi keluarga yang begitu menyayangiku.
***
Siang itu matahari terasa begitu
panas,terasa mendidih otakku. Aku berjalan menusuri koridor sekolah dan terus
melangkah menuju gerbang.
“Maudy…!”teriak
suara seorang perempuan dari arah belakang. Aku membalikan badan.
Aku
tersenyum,seorang gadis tengah berlari kecil menuju arahku. Dialah Dinda
sahabat karibku dari kecil yang selalu mengajakku mengaji,sholat dan lain
sebagainya. Nafasnya terengah engah saat sampai di depanku.
“ada
apa Dinda,tidak usah lari lari gitu,ada hal penting?”
Kemudian
Dinda mengatur nafasnya.
“em,,,
nanti ngaji kan yah?”
“iya
memang kenapa?”
“jangan
lupa ajak aku juga nanti ya?”
“Dinda
Dinda ,tanpa kamu menyuruhpun aku akan mengajakmu”
“hehe
iya ya?”jawabnya nyengir.
“dasar
kamu,udah ini aku mau pulang”
“iya
deh,jangan lupa ya?oke bay” kata Dinda .
Dan
kemudian aku berlalu meninggalkan Dinda yang masi nyengir nyengir sendiri.
“dasar”
Kemudian
aku melanjutkan langkahku menuju gerbang sekolah.
Karna
Ayah mau ke rumah oma,hari ini aku naik bus mini untuk sampai rumah.
Tak
lama,minibus datang,lumayan penuh tapi aku tetap menerobos masuk.
Handphoneku
bergetar bertanda ada panggilan masuk. Kulihat kontak bernama ibu memanggil.
Dengan cepat aku memencet tombol penerima panggilan.
“hallo
iya ibu”
“sayang
kamu udah pulangkan?sekarang ada dimana?”kata ibu dengan nada agak khawatir
sepertinya ada hal yang tidak mengenakan terjadi.
“iya
ibu,Maady lagi di jalan mau pulang ada apa bu?”
Karena
penuhnya penumpang dan saat itu posisiku berdiri,dan suara mesin serta suara
para penumpang membuatku tak bisa mendengar apa yang ibu katakana.
“apa
ibu?Maudy tidak dengar,bisa ibu ulang?”kataku mencoba memastikan apa yang ibu
katakan tadi.
Aku
tidak mendengar suara sedikitpun dari hpku kulihat layarnya masih ada panggilan
tersambung. Tiba tiba dari arah belakan seseorang mnyenggol lengan kananku yang
sedang memegang hp,seketika hpku terjatuh. Susah payah aku berusaha mengambil
hpku,akhirnya berhasil hpku sudah berada di genggamanku,namun sudah mati.
“ya
Alloh ibu bilang apa tadi ya?semoga tidak ada hal aneh yang terjadi”batinku.
Hatiku terus begejolak terus bertanya “ada apa ?”
Mini
bus terus melaju,tepat di jembatan aku berteriak kepada supir mini bus untuk
segera berhenti. Dengan sigap setelah mini bus berhenti aku turun. Aku berusaha
mempercepat langkahku agar cepat sampai rumah.
Sesampainya
di depan rumah aku membuka pintu. Pintu tidak terkunci aku kira mba inah ada di
dalam.
“Assalamualaikum”
Tidak
ada suara yang menjawab salamku.
Aku
segera menuju tempat di mana telpon rumah berada. Aku memencet tombolnya
menuliskan nomor ibuku.
“hallo”suara
ibu terdengar
“iya
ibu,maaf tadi Maudy ada di bus jadi tidak mendengar apa yang ibu katakan”
“iya,maudy
ibu sekarang ada di rumah sakit”
“siapa
yang sakit bu?”
“penyakit
jantung ayah kumat,dan sekarang sedang di tangani dokter di UGD”
Mataku
berkaca kaca.
“ya
Ampun bu,Maudy sekarang ke sana ya”
“iya
hati hati Maudy”
“iya
bu”
Segera
saja aku taruh gagang telepon itu,kemudian tanpa berganti baju aku mengambil
helm dan kontak motor yang terdapat di sebelah televisi. Aku berlari kecil dan
kemudian ke garansi untuk mengambil motor maticku. Aku menyalakanya dan segera
meluncur ke rumah sakit dimana tampat biasanya ayah periksakan penyakitnya itu.
***
Detik berganti menit,menit berganti
jam,jam berganti hari,hari berganti bulan,dan bulan berganti tahun,penyakit
ayah tidak kunjung sembuh,bahkan semakin bertambah parah. Kian hari kian
mengganas jantung ayah. Keluar masuk rumah sakit sudah menjadi
kebiasaan,begitupun ibu dia keluar masuk bank untuk mengambil uang untuk
berobat ayah. Kini aku sudah lulus dari SMA,dan sudah bekerja menjadi
resepsionis di bank swasta. Gajiku di bilang lumayan,walaupun aku baru lulus
SMA tapi aku bisa bekerja menjadi resepsionis karena keahlianku dalam 4 bahasa
yaitu bahasa Indonesia,Inggris,Belanda,dan Perancis.
Hari
itu rumah begitu sepi,ibu ada di rumah sakit setia mendampingi ayah,Mourin
berada di rumah oma,dan aku sendiri tetap di rumah untuk menjaga rumah .
Selepas
sholat dhzuhur,aku mengadahkan kedua tanganku dah berdoa.
“ya
Allah ayah dan ibuku baik,dia sangat menyayangiku ,ya Allah aku sangat
menyayangi mereka,bukakan pintu hati mereka untuk mengikuti ajaranmu ya
Allah,aku mohon ya Allah,aku kasian terhadap mereka yang meyakini agama yang
begitu menyesatkan. Hanya kepadamu aku memohon ya Allah” air mataku terus
mengalir membasahi pipi.
Selesainya
aku berdoa aku melpas mukena setelah selesai aku membuka pintu kamar,baru aku
memegang gagang pintu,handphoneku berdering kencang,segera saja aku
mengambilnya panggilan masuk dari ibu.
“hallo
ibu?”
“hallo,,Maudy
kamu bisa ke rumah sakit sekarang,ayah dalam keadaan kritis tolong kamu ke sini
temani ibu,tante baru saja pergi”
“iya
bu Maudy kesitu sekarang”
Aku
begitu panik,aku mencari kunci motor dan segera menuju garansi,dengan cepat aku
menuju rumah sakit. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis tanpa bisa berdoa.
Sesampainya
di rumah sakit…..
Ku
lihat ibu duduk di depan ruangan di mana ayah terbaring lemah dan sedang di
tangani oleh dokter,aku segera menghampiri ibu. Air matanya mengalir.
“ibu
berdoa saja kepada tuhan untuk keselamatan ayah”aku berusaha menenangkan ibu.
Hanya ada aku dan ibu yang menemani ayah. Opa dan Oma menemani Mourin,sedangkan
keluarga ayah jauh.
Ibu
tersenyum kepadaku namun tidak mengucap apa apa,dia memeluku hangat sembari
terus meneteskan air mata.
Kulihat
dari kaca pintu ruangan,ku lihat dokter sedang berusaha semaksimal mungkin,air
matakupun terus meleleh. Dokter terus menggunakan alat pemicu detak jantung
untuk menyelamatkan ayah,aku tidak tega melihat semua adegan itu,
Ya
Allah apa yang harus aku lakukan,ya Allah ayahku baik padaku ya Allah. Bibirku
terasa bungkam seakan ada lem di antara dua bibirku,menangispun tak
bersuara,aku ingin berteriak namun semua itu mustahil. Kemudian aku duduk di
sebelah ibu yang sedang berdoa kepada tuhan Yesusnya,dan tak mengucap kata
apapun kepadaku. Tak lama dokter keluar dan suster di belakangnya mendorong
kamar ayah. Kenapa begitu?
“dokter
kenapa ayah saya di bawa keluar?”
“adik
lapangkan dadamu,ayahmu telah kembali ke sisiNya,”
Ibu
tak mengucap apapun lalu pingsan. Aku menangis semakin menjadi jadi. Sekali
lagi aku tidak bisa mendoakan ayah !!
Lalu
salah satu suster membawa ibu ke UGD dengan di bantuku,dan suster satunya lagi
bersama dokter akan mengurus ayah. Setelah ibu masuk ke ruangan,aku mengambil
handphone untuk mengabari oma,oma pun shock mendengar hal itu.
Selang
15menit opa,oma,tante lia,dan om Rino datang.
Aku
lalu memeluk oma,
“sabar
sayang,sekarang ibu di ruang mana?”
Aku
menunjukan ruang UGD,
“Lia
,Rino kamu cepat bilang ke dokter yang sedang mengurus mayat Mario,suruh saja
di naikan ke ambulan lalu suruh bawa ke rumah kita urus di rumah,biar nanti
ayah langsung menghubungi pendeta”perintah opa.
Aku
masih dalam pelukan oma ,tante Lia dan Om Rino berlalu menuju kamar mayat.
“mana
Mourin oma?”
“Mourin
di rumah sama tante sis,kamu yang tenang ya sayang”
***
Sesampainya di rumah,rumahku telah
terpenuhi oleh kerabat,teman ayah maupun tokoh tokoh agama,aku masuk
berdampingan dengan omku,dan tanteku yang datang dari Bandung. Om Ridwan dan
tante Ayrah,mereka beragama muslim sama denganku. Ibu tetap menangis dalam
rangkulan oma,Mourin tampak kebingungan dalam gendongan opa.
Aku
masuk kamar bersama tante Ayrah.
“sayang
jangan menangis terus,lapangkan dadamu,tante tau ini begitu berat untukmu,kamu
tidak bisa mendoakan ayahmu” kata tanteku
Seperti
firman Allah dalam surah QS. At-Taubah ayat 113
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah
bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka Jahannam.”
Dengan
begitu,tidak mungkin aku mendoakan Ayah.
Aku
tetap menangis.
Sekitar
30 menit pendeta yang akan mengurus ayah belum datang. Entah kekuatan dari
mana,aku menarik tangan tanteku dan menyuruh tanteku untuk membantuku mengurus
jenazah ayahku. Semua kerabat,teman teman ayah hanya diam melihat apa yang aku
lakukan, aku memandikan ayah layaknya jenazah muslim yang di mandikan,belum
selesai aku memandikan ayah,sang pendeta datang. Dia meletakan salib di atas
kepala ayah,yang berarti dia mengingatkan aku bahwa jenazah ini jenazah
Kristen. Tanteku kemudian menarikku ke kamar.
“Maudy
apa yang kamu lakukan,ingat ayah kamu bukan muslim seperti kita !”tante
membentakku. Aku sadar apa yang aku lakukan tadi sangat salah. Tapi entah apa
yang membuat aku begitu berani melakukan hal tadi.
Ku
dengar dari dalam kamar semua tamu sedang menyanyi nyanyi lagu dari agama
Kristen. Dalam keadaanku yang masih wudhu aku bertekad membaca al-quran.
Semakin mereka menyeru bernyanyi,semakin aku keras membaca Al-quran,tanteku
membiarkan apa yang aku lakukan. Hingga akhirnya semua berhenti menyanyi dan
aku masih membaca Al-quran sehingga hanya terdengar suaraku membaca Al-quran.
Kemudian aku merasa lemas dan akupun pingsan. Saat aku terbangun jenazah ayah
di dalam peti sudah siap akan di berangkatkan.
“itu
kakinya yang di depan !”teriak seorang lelaki menyuruh sipenggotong peti untuk
mengubah arahnya. Lalu di pindahkan arah peti jenazah di putar.
“hey
bukan begitu,kepalanya dahulu !” teriak lelaki lainya,
Kemudian
si penggotong memutarkan arah peti jenazahnya itu.
Tidak
tega aku melihat peti mati ayahku di putar putar seperti itu.
Ayah
maafin Maudy tidak bisa berdoa untuk Ayah. Maudy tetap sayang Ay
ah
.