Jumat, 07 November 2014



Hidup Di Atas Keyakinan
Tetesan air hujan menyambut pagiku hari ini,dan membasahi tiap lembar dedaunan di halaman rumah. Lembaran roti tawar bertumpukan setinggi 8cm tersusun rapi di atas meja,di sebelahnya berdiri tegap selai nanas bermerekan Morin dan berdampingan dengan pisau oles. Ini semua ibuku yang menyiapkan setiap paginya untukku Ayah dan adikku Mourin. Mourin telah duduk di kursi sebelah ayah, Mourin ya Mourin Ardelia nama lengkapnya. Dia gadis kecil yang lucu, dia berambut panjang,kriting dan pirang dengan matanya yang indah dan bulu matanya yang lentik asli keturunan Belanda wajahnya sangat mirip ibukku Moura Ardelia namanya. Dia sangat menyayangi kami walaupun dalam satu keluarga, keyakinan kami berbeda. Ayah,ibu dan Mourin beragama Kristen sedangkan aku beragama Islam. Ini terjadi ketika aku berusia 6 tahun. Pada awalnya aku beragama Kristen. Tapi saat itu aku suka bergaul dengan teman-temanku dulu yang beragama islam. Aku sering di ajak mengaji,sholat dan ibadah lainya yang pada umumnya di lakukan oleh orang islam.  Kala itu aku menyadari bahwa begitu lembut ajaran islam,ibu uztazdah yang mengajariku tidak pernah memarahiku,membeda-bedakan aku dengan teman-temanku yang islam,dia tidak melarangku untuk ikut mengaji dan sholat bersama teman teman. Bahkan ilmu agama yang aku ketahui sekarang ini,sebagian bersumber dari ibu uztazdah cantik itu yang bernama Aisyah,dia lembut tutur katanya,aku banyak bertanya Tanya tentang islam kepadanya. Dan sekitar umur 9tahun aku mulai berfikir masalah keyakinan. Hingga aku bertekad untuk bicara pada ibu.
“ibu,Maudy boleh Tanya?” kataku dengan nada kekanak kanakanya pada saat itu.
“boleh sayang,mau Tanya apa?”jawaban ibu semakin membuatku semangat untuk melanjutkan percakapanku kala itu.
“kalau Maudy masuk islam boleh?”pertanyaan itu aku lontarkan dengan begitu mudah.
Ibu tersenyum.. tapi selepas itu ia terdiam dan melanjutkan kegiatanya memotong sayuran. Dia sepertinya enggan merespon pertanyaanku.
“ibu marah ya?aduh maafkan Maudy bu,Maudy nggak bermaksud apa apa?Maudy ha…”belum selesai berbicara jari telunjuk ibu di tempelkan ke bibirku,dengan arti aku harus diam dan mendengarkan apa yang akan ibu katakan.
“anak ibu yang paling cantik,ibu tidak pernah marah kepada gadis mungil ibu yang satu ini,, dengarkan ibu ya sayang”kemudian ibu menuntunku untuk duduk di kursi dekat dengan tempat berdiri aku dan ibu dari tadi.
Aku duduk dan kemudian memandang ibu,di matanya terlihat kasih sayang yang begitu dalam untuk puterinya.
“ibu dan ayahmu,tidak pernah menuntut anaknya mengikuti kepercayaan yang kami anut,jadi ibu dan ayah membebaskanmu untuk menganut keyakinan apapun itu. Bukan karena ayah dan ibu tidak menyayangimu”
“Lantas?”ucapku di tengah tengah pembicaraanya.
“semua itu atas dasar rasa sayang ayah dan ibu kepada puterinya,ayah dan ibu ingin melihat puterinya hidup bahagia tanpa tekanan batin tutuntan dari ayah dan ibu,paham?”
Aku mengangguk tanda mengerti.
Ibu menarik nafas dalam dalam dan kemudian melanjutkan pembicaraanya.
“jadi ayah dan ibu mengizinkan kamu masuk agama islam,dengan catatan kamu harus bersungguh sungguh dalam menjalankan perintah yang telah di berikan oleh tuhan mereka,jangan sekalipun kamu melanggarnya,kamu paham?”
Mataku berkaca kaca,aku merasa menjadi orang yang beruntung di dunia karena memiliki orang tua yang sangat menyayangiku.
“iya bu,Maudy paham jadi ibu benar benar memperbolehkan Maudy masuk islam?”jawabku memastikan.
“tentu boleh”
Kemudian aku meraih tubuh langsing ibu dan aku merasakan pelukan hangat dari ibu yang begitu besar rasa cintanya kepada puterinya. Perlahan air mataku mengalir bahkan sampai membasahi baju ibu. Ibu mengusap kepalaku dan menciumnya dengan penuh kehangatan.
Dan sore harinya ba’da sholat maghrib dengan di tuntun uztazdah Aisyah aku membacakan dua kalimat syahadat dengan sepenuh hati dan percaya bahwa Allahlah tuhanku dan Muhammadlah nabiku.
Itulah sejarah mengapa dalam keluargaku ada perbedaan keyakinan.
“Sayang Maudy,nanti ibu sama ayah mau ke rumah oma,jadi kamu jaga rumah ,kuncinya ibu titipin ke mba inah,,oke”tutur kata ibu seraya tersenyum.
“baiklah,,oya Maudy nanti mau ikut ngaji sama uztad baru di masjid”jawabku
“baiklah sayang semangat untuk melaksanakan ibadahmu”
Aku tersenyum dengan kebijakan ibu terhadap masalah ini.
“oh iya sayang ,salam buat pak sulaiman dari ayah ya,suruh sekali kali mampir ke rumah”kata bapak menitipkan salam untuk pak sulaiman penjaga perpustakaan di sekolahku.
“oke Ayah”jawabku tersenyum
“suruh dia juga kalau mau main kesini bawa anak laki lakinya si Taufik,biar bisa kenalan sama kamu”kata ayah nyengir
“ih apa sih ayah?”kataku malu malu
“hayo yang keliatan salah tingkah” serentak semua tertawa,begitulah sifat ayah yang slalu membuat keluarganya tertawa.
Pagi itu sarapan berlangsung begitu menyenangkan,ada candaan ayah,ada kelucuan adiku Mourin. Begitulah kehangatan yang terjadi pagi ini. Kadang aku merasa kasian kepada mereka,kenapa mereka tetap meyakini kepercayaan yang begitu menyesatkan menurutku. Tapi inilah takdir Allah. Aku hanya bisa bersyukur karena telah di anugerahi keluarga yang begitu menyayangiku.
***
            Siang itu matahari terasa begitu panas,terasa mendidih otakku. Aku berjalan menusuri koridor sekolah dan terus melangkah menuju gerbang.
“Maudy…!”teriak suara seorang perempuan dari arah belakang. Aku membalikan badan.
Aku tersenyum,seorang gadis tengah berlari kecil menuju arahku. Dialah Dinda sahabat karibku dari kecil yang selalu mengajakku mengaji,sholat dan lain sebagainya. Nafasnya terengah engah saat sampai di depanku.
“ada apa Dinda,tidak usah lari lari gitu,ada hal penting?”
Kemudian Dinda mengatur nafasnya.
“em,,, nanti ngaji kan yah?”
“iya memang kenapa?”
“jangan lupa ajak aku juga nanti ya?”
“Dinda Dinda ,tanpa kamu menyuruhpun aku akan mengajakmu”
“hehe iya ya?”jawabnya nyengir.
“dasar kamu,udah ini aku mau pulang”
“iya deh,jangan lupa ya?oke bay” kata Dinda .
Dan kemudian aku berlalu meninggalkan Dinda yang masi nyengir nyengir sendiri.
“dasar”
Kemudian aku melanjutkan langkahku menuju gerbang sekolah.
Karna Ayah mau ke rumah oma,hari ini aku naik bus mini untuk sampai rumah.
Tak lama,minibus datang,lumayan penuh tapi aku tetap menerobos masuk.
Handphoneku bergetar bertanda ada panggilan masuk. Kulihat kontak bernama ibu memanggil. Dengan cepat aku memencet tombol penerima panggilan.
“hallo iya ibu”
“sayang kamu udah pulangkan?sekarang ada dimana?”kata ibu dengan nada agak khawatir sepertinya ada hal yang tidak mengenakan terjadi.
“iya ibu,Maady lagi di jalan mau pulang ada apa bu?”
Karena penuhnya penumpang dan saat itu posisiku berdiri,dan suara mesin serta suara para penumpang membuatku tak bisa mendengar apa yang ibu katakana.
“apa ibu?Maudy tidak dengar,bisa ibu ulang?”kataku mencoba memastikan apa yang ibu katakan tadi.
Aku tidak mendengar suara sedikitpun dari hpku kulihat layarnya masih ada panggilan tersambung. Tiba tiba dari arah belakan seseorang mnyenggol lengan kananku yang sedang memegang hp,seketika hpku terjatuh. Susah payah aku berusaha mengambil hpku,akhirnya berhasil hpku sudah berada di genggamanku,namun sudah mati.
“ya Alloh ibu bilang apa tadi ya?semoga tidak ada hal aneh yang terjadi”batinku. Hatiku terus begejolak terus bertanya “ada apa ?”
Mini bus terus melaju,tepat di jembatan aku berteriak kepada supir mini bus untuk segera berhenti. Dengan sigap setelah mini bus berhenti aku turun. Aku berusaha mempercepat langkahku agar cepat sampai rumah.
Sesampainya di depan rumah aku membuka pintu. Pintu tidak terkunci aku kira mba inah ada di dalam.
“Assalamualaikum”
Tidak ada suara yang menjawab salamku.
Aku segera menuju tempat di mana telpon rumah berada. Aku memencet tombolnya menuliskan nomor ibuku.
“hallo”suara ibu terdengar
“iya ibu,maaf tadi Maudy ada di bus jadi tidak mendengar apa yang ibu katakan”
“iya,maudy ibu sekarang ada di rumah sakit”
“siapa yang sakit bu?”
“penyakit jantung ayah kumat,dan sekarang sedang di tangani dokter di UGD”
Mataku berkaca kaca.
“ya Ampun bu,Maudy sekarang ke sana ya”
“iya hati hati Maudy”
“iya bu”
Segera saja aku taruh gagang telepon itu,kemudian tanpa berganti baju aku mengambil helm dan kontak motor yang terdapat di sebelah televisi. Aku berlari kecil dan kemudian ke garansi untuk mengambil motor maticku. Aku menyalakanya dan segera meluncur ke rumah sakit dimana tampat biasanya ayah periksakan penyakitnya itu.
***
            Detik berganti menit,menit berganti jam,jam berganti hari,hari berganti bulan,dan bulan berganti tahun,penyakit ayah tidak kunjung sembuh,bahkan semakin bertambah parah. Kian hari kian mengganas jantung ayah. Keluar masuk rumah sakit sudah menjadi kebiasaan,begitupun ibu dia keluar masuk bank untuk mengambil uang untuk berobat ayah. Kini aku sudah lulus dari SMA,dan sudah bekerja menjadi resepsionis di bank swasta. Gajiku di bilang lumayan,walaupun aku baru lulus SMA tapi aku bisa bekerja menjadi resepsionis karena keahlianku dalam 4 bahasa yaitu bahasa Indonesia,Inggris,Belanda,dan Perancis.
Hari itu rumah begitu sepi,ibu ada di rumah sakit setia mendampingi ayah,Mourin berada di rumah oma,dan aku sendiri tetap di rumah untuk menjaga rumah .
Selepas sholat dhzuhur,aku mengadahkan kedua tanganku dah berdoa.
“ya Allah ayah dan ibuku baik,dia sangat menyayangiku ,ya Allah aku sangat menyayangi mereka,bukakan pintu hati mereka untuk mengikuti ajaranmu ya Allah,aku mohon ya Allah,aku kasian terhadap mereka yang meyakini agama yang begitu menyesatkan. Hanya kepadamu aku memohon ya Allah” air mataku terus mengalir membasahi pipi.
Selesainya aku berdoa aku melpas mukena setelah selesai aku membuka pintu kamar,baru aku memegang gagang pintu,handphoneku berdering kencang,segera saja aku mengambilnya panggilan masuk dari ibu.
“hallo ibu?”
“hallo,,Maudy kamu bisa ke rumah sakit sekarang,ayah dalam keadaan kritis tolong kamu ke sini temani ibu,tante baru saja pergi”
“iya bu Maudy kesitu sekarang”
Aku begitu panik,aku mencari kunci motor dan segera menuju garansi,dengan cepat aku menuju rumah sakit. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis tanpa bisa berdoa.
Sesampainya di rumah sakit…..
Ku lihat ibu duduk di depan ruangan di mana ayah terbaring lemah dan sedang di tangani oleh dokter,aku segera menghampiri ibu. Air matanya mengalir.
“ibu berdoa saja kepada tuhan untuk keselamatan ayah”aku berusaha menenangkan ibu. Hanya ada aku dan ibu yang menemani ayah. Opa dan Oma menemani Mourin,sedangkan keluarga ayah jauh.
Ibu tersenyum kepadaku namun tidak mengucap apa apa,dia memeluku hangat sembari terus meneteskan air mata.
Kulihat dari kaca pintu ruangan,ku lihat dokter sedang berusaha semaksimal mungkin,air matakupun terus meleleh. Dokter terus menggunakan alat pemicu detak jantung untuk menyelamatkan ayah,aku tidak tega melihat semua adegan itu,
Ya Allah apa yang harus aku lakukan,ya Allah ayahku baik padaku ya Allah. Bibirku terasa bungkam seakan ada lem di antara dua bibirku,menangispun tak bersuara,aku ingin berteriak namun semua itu mustahil. Kemudian aku duduk di sebelah ibu yang sedang berdoa kepada tuhan Yesusnya,dan tak mengucap kata apapun kepadaku. Tak lama dokter keluar dan suster di belakangnya mendorong kamar ayah. Kenapa begitu?
“dokter kenapa ayah saya di bawa keluar?”
“adik lapangkan dadamu,ayahmu telah kembali ke sisiNya,”
Ibu tak mengucap apapun lalu pingsan. Aku menangis semakin menjadi jadi. Sekali lagi aku tidak bisa mendoakan ayah !!
Lalu salah satu suster membawa ibu ke UGD dengan di bantuku,dan suster satunya lagi bersama dokter akan mengurus ayah. Setelah ibu masuk ke ruangan,aku mengambil handphone untuk mengabari oma,oma pun shock mendengar hal itu.
Selang 15menit opa,oma,tante lia,dan om Rino datang.
Aku lalu memeluk oma,
“sabar sayang,sekarang ibu di ruang mana?”
Aku menunjukan ruang UGD,
“Lia ,Rino kamu cepat bilang ke dokter yang sedang mengurus mayat Mario,suruh saja di naikan ke ambulan lalu suruh bawa ke rumah kita urus di rumah,biar nanti ayah langsung menghubungi pendeta”perintah opa.
Aku masih dalam pelukan oma ,tante Lia dan Om Rino berlalu menuju kamar mayat.
“mana Mourin oma?”
“Mourin di rumah sama tante sis,kamu yang tenang ya sayang”
***
            Sesampainya di rumah,rumahku telah terpenuhi oleh kerabat,teman ayah maupun tokoh tokoh agama,aku masuk berdampingan dengan omku,dan tanteku yang datang dari Bandung. Om Ridwan dan tante Ayrah,mereka beragama muslim sama denganku. Ibu tetap menangis dalam rangkulan oma,Mourin tampak kebingungan dalam gendongan opa.
Aku masuk kamar bersama tante Ayrah.
“sayang jangan menangis terus,lapangkan dadamu,tante tau ini begitu berat untukmu,kamu tidak bisa mendoakan ayahmu” kata tanteku
Seperti firman Allah dalam surah QS. At-Taubah ayat 113
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.”
Dengan begitu,tidak mungkin aku mendoakan Ayah.
Aku tetap menangis.
Sekitar 30 menit pendeta yang akan mengurus ayah belum datang. Entah kekuatan dari mana,aku menarik tangan tanteku dan menyuruh tanteku untuk membantuku mengurus jenazah ayahku. Semua kerabat,teman teman ayah hanya diam melihat apa yang aku lakukan, aku memandikan ayah layaknya jenazah muslim yang di mandikan,belum selesai aku memandikan ayah,sang pendeta datang. Dia meletakan salib di atas kepala ayah,yang berarti dia mengingatkan aku bahwa jenazah ini jenazah Kristen. Tanteku kemudian menarikku ke kamar.
“Maudy apa yang kamu lakukan,ingat ayah kamu bukan muslim seperti kita !”tante membentakku. Aku sadar apa yang aku lakukan tadi sangat salah. Tapi entah apa yang membuat aku begitu berani melakukan hal tadi.
Ku dengar dari dalam kamar semua tamu sedang menyanyi nyanyi lagu dari agama Kristen. Dalam keadaanku yang masih wudhu aku bertekad membaca al-quran. Semakin mereka menyeru bernyanyi,semakin aku keras membaca Al-quran,tanteku membiarkan apa yang aku lakukan. Hingga akhirnya semua berhenti menyanyi dan aku masih membaca Al-quran sehingga hanya terdengar suaraku membaca Al-quran. Kemudian aku merasa lemas dan akupun pingsan. Saat aku terbangun jenazah ayah di dalam peti sudah siap akan di berangkatkan.
“itu kakinya yang di depan !”teriak seorang lelaki menyuruh sipenggotong peti untuk mengubah arahnya. Lalu di pindahkan arah peti jenazah di putar.
“hey bukan begitu,kepalanya dahulu !” teriak lelaki lainya,
Kemudian si penggotong memutarkan arah peti jenazahnya itu.
Tidak tega aku melihat peti mati ayahku di putar putar seperti itu.
Ayah maafin Maudy tidak bisa berdoa untuk Ayah. Maudy tetap sayang Ay
ah .